Akibat Anjoknya Harga Gula Aren


Sekedar mempertahankan hidup, akibat anjloknya harga Gula Aren di Kabupaten Banggai, para petani Pohon Enau atau Pohon Aren, beralih profesi memproduksi minuman keras produksi lokal yang dikenal luas sebagai cap Tikus


Oleh : Broysman Anasim

GULA AREN adalah salah satu hasil yang bisa didapatkan dari pohon enau. Banyak ditemukan di lereng-lereng atau tebing sungai, pohon yang hidup di ketinggian 1.400m dari permukaan laut ini banyak bertumbuh di wilayah Kabupaten Banggai. Sejak dulu, tidak sedikit warga yang menyandarkan hidupnya dari pohon aren ini. Meski ada yang menjadi minuman khas saguer tapi lebih banyak yang diproduksi menjadi gula aren alias gula merah. Rasa khas gula aren ini sangat lezat. Apalagi jika digunakan sebagai salah satu bahan untuk membuat makanan ringan lainnya.

Beberapa hari yang lalu, penulis sempat berkunjung ke salah satu desa di Kecamatan Pagimana. Dulunya, desa tersebut dikenal dengan hasil gula arennya yang nomor satu di Kabupaten Banggai. Sebagian besar masyarakat, kesehariannya, bekerja mengumpulkan cairan enau lalu di produksi secara tradisional menjadi gula aren atau gula merah.

Di salah satu pondok tua di tepi jalan menuju Desa Asaan, penulis sempat berbincang-bincang dengan seorang warga, sebut saja Tatu. Saat itu, Tatu sedang membawa satu buah jerigen berwana putih ukuran 5 liter. “Apa isi dari jerigen itu?,” saya bertanya. “ini Arak, masih baru!!!. Orang sini bilang Cap Tikus, hasil penyulingan hari ini,” jawab Tatu dengan tersenyum. “Ini sudah ada yang pesan. Katanya hari ini dia mau datang untuk ambil,” tambahnya.

Kesehariannya, Tatu berprofesi sebagai pembuat Cap Tikus, minuman keras yang rasanya aduhai itu. Dari perbincangan panjang, terungkap bahwa Tatu memang telah mengetahui benar, bagaimana memanfaatkan Pohon Enau menjadi lembaran-lembaran rupiah. Apalagi, dulunya dia merupakan salah seorang pembuat gula merah.

Dengan pengalamannya yang hampir 30 tahun mengolah pohon enau, Tatu terdengar sangat lancar menjelaskan manfaatnya. Pohon enau menurut Tatu, punya banyak manfaat. Salah satunya yang bisa diambil dari pohon ini adalah dengan menyadap tandan bunga jantan yang mulai menghamburkan serbuk sari berwarna kuning untuk dijadikan sebagai gula. Tandan yang telah dipilih dimemarkan dengan memukul-mukulnya selama beberapa hari sampai keluar cairan dari dalamnya.

Setelah cairannya keluar, tandan itu dipotong. Lalu ujungnya digantungkan tahang bambu untuk menampung cairan manis yang menetes. Cairan itu disebut Nira atau saguer. Warnanya jernih agak keruh. Saguer ini sifatnya tidak tahan lama. Karena itu, tandan yang telah terisi harus segera diambil untuk diolah niranya. Biasanya, dalam sehari dilakukan 2 kali pengambilan saguer. Pagi dan sore.

Saguer yang telah dikumpulkan dimasak sampai mengental dan menjadi gula cair. Lalu, gula cair ini dicampur dengan getah nangka supaya membeku dan dapat dicetak menjadi bongkahan gula aren atau gula merah.

Namun akibat anjloknya harga gula merah beberapa tahun terakhir ini, para pengelola pohon enau, termaksuk Tatu, mulai kesulitan. Apalagi, biaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari semakin tinggi. Maka, tak pelak, Cap tikus menjadi alterbatif lain yang bisa mendongkrak perekonomian keluarganya.

Cara membuat cap tikus hampir sama dengan membuat gula aren. Hanya saja, ada beberapa teknik penyulingan yang harus diperhatikan untuk mendapatkan hasil yang baik. Semakin bagus sistem penyulingannya, semakin tinggi pula kadar alkoholnya.

Saguer sejak keluar dari mayang pohon enau sudah mengandung alkohol. Menurut Tatu, kadar alkohol yang dikandung saguer juga tergantung pada cara menuai dan kualitas peralatan bambu penampung saguer saat menetes keluar dari mayang pohon enau.

Untuk mendapatkan saguer yang manis bagaikan gula, bambu penampungan yang digantungkan pada bagian mayang tempat keluarnya cairan putih (saguer), berikut saringannya yang terbuat dari ijuk pohon enau harus bersih. Semakin bersih, saguer semakin manis. Semakin bersih saguer, maka cap tikus yang dihasilkan pun semakin tinggi kualitasnya.

Proses pembuatannya, sejauh ini para petani masih menggunakan teknologi tradisional. Saguer dimasak kemudian uapnya disalurkan dan dialirkan melalui pipa bambu ke tempat penampungan. Tetesan-tetesan itulah yang kemudian dikenal dengan minuman Cap Tikus.

Walau pun Tatu berprofesi sebagai pembuat Cap Tikus, namun ia sadar betul bahwa Cap Tikus mengandung kadar alkohol tinggi. Sudah sejak dulu, kata Tatu, orang-orang tua mengingatkan agar bisa menahan atau mengontrol minum minuman Cap Tikus.

Tatu sendiri mengaku, ia sering mengkonsumsi minuman ini. Namun hanya satu seloki saja. Diyakininya, cap tikus asli bisa menambah darah dan semangat kerja. Sambil mengutip lirik lagu dari daerah minahasa, Tatu menjelaskan minum tersebut jika di konsumsi dua seloki bisa masuk penjara. Minum tiga seloki bakal ke neraka. Artinya, dengan dua seloki saja orang bakal mudah terpancing bertindak berlebihan karena kandungan alkohol yang masuk ke tubuhnya membuat orang mudah kehilangan kontrol hingga rentan berbuat kriminal. Dan bagaimana jika ada yang mengkonsumsi minuman ini sampai 3 seloki atau lebih?? Yang jelas sebagai kepala keluarga yang memiliki 8 orang anak yang masih kecil-kecil, Tatu hanya ingin tetap bertahan hidup untuk menafkahi keluarganya. 8 orang buah hati itulah barangkali yang membuatnya tidak meneguk cap tikus lebih dari satu seloki.***