Ketika Keluarga Bicara

 Pengakuan Dibalik Kasus Bunta Berdarah 

Peristiwa pembunuhan yang terjadi di lokasi tambang Emas di Desa Mumpe Kecamatan Simpang Raya, dan berimbas pada amuk massa di Puskesmas Bunta, masih menyisakan duka yang mendalam bagi masing-masing pihak. Wartawan koran ini berusaha untuk mencari jejak-jejak kronologis atas kejadian itu dari berbagai sumber. Keterangan dikumpulkan baik dari keluarga  Nasarudin, maupun dari keluarga Habel, sebagai pihak yang menjadi korban dalam rangkaian kejadian itu. Penuturuan kedua belah pihak itu, dirangkai dalam laporan khusus redaksi Media Banggai berikut ini.

Laporan : heRu Nemo Hidayatullah

Pagi itu Sabtu (12/2), sekitar pukul 09.00 ratusan iring-iringan warga Desa SPD Saiti mengantarkan jenazah Nasaruddin, korban pembunuhan dilokasi tambang emas Desa Mumpe,  dalam sebuah keranda mayat Nas_sapaan akrab Nasarudin, ditandu dari rumah menuju peristirahatan terakhirnya untuk dikebumikan dipemakanan umum di Desa Saiti. Nas yang meninggalkan seorang istri bersama 4 anak-anaknya, dikenal sebagai sosok ayah yang sabar. Bagi masyarakat, Nas adalah sosok yang yang pendiam dan baik.
Kronologis kejadian berawal ketika Nasarudin meninggalkan camp pada Kamis (9/2). Walau sudah dilarang oleh teman-temannya untuk tidak pergi sendiri di lokasi tambang emas, namun oleh Nasaruddin dijawab cuma ingin jalan-jalan dan mau lihat-lihat.
Hingga menjelang malam, dari pihak keluarga mengabarkan Nas belum juga pulang ke rumahnya. Akhirnya pihak keluarga berinisiatif mencari malam itu juga.
Di TKP ditemukan tombak yang terbuat dari kayu dan bambu runcing dan setelah melihat adanya tetesan darah di tempat kejadian itu, kekwatiran kemungkinan Nasarudin mengalami luka membuat warga menghentikan pencariannya karena takut mengambil resiko.
“ Barangnya masih ada, tembakau dan air minum juga masih ada. Namun peralatan menambangnya sudah tidak ada. Kemudian ada tetesan darah di tempat kejadian itu. Karena sudah malam, kami memutuskan pulang untuk menghidari resiko,” tutur Zakie, salah satu keluarga Nasarudin.
Karena belum bisa dipastikan apakah Nasarudin menjadi korban pembunuhan atau tidak, maka keluarga memutuskan untuk mencari kembali pada pagi hari.
Pada keesokan harinya, Jumat (13/2) pencarian dimulai dari camp untuk memastikan kemungkinan Nas kembali ke tempat menyimpan barang bawaannya. Namun kondisi barang masih utuh tidak ada tanda-tanda kalau Nas kembali ke camp itu.
Setelah mencari-cari  tidak jauh dari TKP, terdapat pondok Habel, orang yang dianggap telah melakukan pembunuhan terhadap Nasarudin. Sebelumnya, warga mengetahui Habel sudah sering melarang dan memarahi setiap warga untuk tidak mencari emas dilokasi itu, dengan alasan lokasi tersebut miliknya.
Setelah bertemu dengan Habel, keluarga kemudian bertanya soal siapa pemilik lahan tersebut. Saat itu Habel menyebut lahan itu milik warga Mumpe. Saat itu, keluarga kemudian meminta Habel ikut bersama meerka untuk menemui Kepala Dusun yang memiliki wilayah di lokasi tambang tersebut.
Hanya saja, kecurigaan keluarga semakin ada karena Habel memberikan keterangan yang berbelit-belit. Keluarga kemudian mencurugai jika Habel mengetahui persis kejadian hilangnya Nasarudin. Karena memberikan keterangan yang berbelit-belit, keluarga yang dalam pencarian itu kemudian meminta Habel untuk tidak kemana-mana dan ikut serta dalam menemui kepala dusun, atau pemerintah Desa Mumpe lainnya.
Setelah berhasil menemui Kepala Dusun, warga dan keluarga yang dalam pencarian kemudian bersepakat untuk mencari keberadaan Nasarudin secara bersama-sama. Dan Kepala Dusun karena tidak mau mengambil resiko, kemudian meminta 5 orang warganya untuk menjaga Habel.
“Kita ini mau niat menyelesaikan masalah bukan untuk mencari masalah, apapun keadaan keluarga kami, entah mau hidup atau tidak, kami tidak permasalahkan, kami  cuma mau mencari keluarga kami, cuma itu saja,” tutur Zakie.
Hanya saja, keterangan demi keterangan yang dikumpulkan dari Habel, selalu berbelit-belit dan berbeda dari sebelumnya.
Setelah dilakukan pencarian, maka ditemukanlah jenazah Nasaruddin yang tidak jauh dari TKP sekitar 50 meter dari pondok Habel. Saat itu, Habel langsung bereaksi seolah-olah ingin melarikan diri dan melawan. Karena Habel memiliki senjata tajam, warga yang ada sat itu kemudian berupaya untuk melepas senjata tajam itu dari tangannya. Zakie mengaku bila warga menghakimi Habel dengan tangan hingga babak belur, sebagai bentuk pelajaran supaya tidak berusaha melarikan diri.
“ Kami dari keluarga meminta jangan sampai dihilangkan nyawanya (Habel—red) karena kalau sampai Habel meninggal ditempat ini, maka akan jadi percuma karena keterangannya pasti dibutuhkan pihak kepolisian, sehingga warga lainnya bisa menahan diri”, tutur Zakie.
Setelah sampai di Desa Doda, pada sebuah sungai, Habel kemudian mengakui bila dialah yang melakukan pembunuhan tersebut. Menurutnya,  ia tidak melakukan pembunuhan sendirian.
Usai mengantarkan Habel sampai di Desa Doda dengan tidak sadarkan diri, warga kemudian membawa jenasah Nasarudin ke Puskesma Bunta.
Untuk diketahui kondisi Nasarudin ketika ditemukan sekitar pukul 16.00 wita, berada di sebuah lubang bekas galian tambang emas dan terkubur didalamnya. Waktu penggalian lubang tersebut, posisi Nasarudin dengan kaki terlipat kebelakang, organ tubuhnya keluar, tangannya luka robek kena benda tajam  dan lehernya patah.
Keluarga Habel Membantah
Sementara itu, dari keluarga Habel ditemukan keterangan berbeda. Melalui Adrana Jihanga, Istri Habel menceritrakan bila waktu itu pukul 09.00 pagi, ia dan suaminya berada dipondok sedang mengerjakan lemari pesanan warga Mumpe.
Saat itu, sekitar 40 orang warga mendatangi mereka dan langsung melingkari suaminya, serta disuruh mengakui bila suaminya yang membunuh teman mereka. Walau Habel membantah tuduhan tersebut, warga kemudian membawa Habel untuk ikut bersama mereka.
“ Torang ini ada dirumah datanglah orang-orang ini, paling kurang 40 orang, begitu dorang datang langsung dorang lingkar sape laki sekitar jam 9,” tutur Adrana.
“Om mengaku saja kalau om yang ba bunuh kitorang pe taman, saya pelaki bilang terus terang saya tidak berbuat seperti itu, lalu dorang bilang om tidak usah banyak keterangan”, ungkap Adrana kepada awak media ini, Minggu (12/2) di kediamannya.
Menurut Adriana, mereka lantas menyandra Habel, suaminya, untuk pergi ke Desa Mumpe, dan singgah disalah satu rumah milik Yosi. Ditempat itu, mereka mengeluarkan parang sambil melingkari Habel.
“ Dorang so tare parang dorang lingkar ini Om, habis itu dorang suruh maituanya Yosi ba masak mie, abis makan, istrahat masih sempat saya pelaki bilang sama saya, ibu lebe bae ngana basambunyi, trus saya pe taman bilang kitorang pulang saja, akhirnya kitorang pulang bajalan di rumput-rumput, saya pelaki maunya dikawal sama kitorang pe tetangga di kebun, kan ada orang kampung dari pangkalan air. Tapi dorang tidak mau dikawal dengan kitorang pe tetangga, maunya dorang sandiri yang kawal,” ujar Adriana.
Menurut dia, suaminya mendapatkan perlakuan kasar. Disebuah gunung yang curam, suaminya dilemparkan dan terguling-guling hingga ke sungai.
“Dorang hela di aer, kase marayap di bawah pangkalan,” tuturnya.
Bahkan kata dia, ketika ia datang ditempat itu, ada orang yang meneriakinya. “So ini ibunya (istrinya-red) bunuh saja,” tutur Adriana. Hanya saja, kata dia, saat itu ada yang berteriak mengatakan “ibunya tidak ada masalah.” 
Adriana kemudian menuju Desa Gonohop. Sesampainya di rumah Kepala Desa Gonohop, Adriana lalu menceritakan kisahnya dan meminta Kades untuk membantu suaminya. Namun Kades dan warga tidak menghiraukan
“ Sampai sama kades saya minta tolong, saya pe laki itu disana tinggal depe nyawa yang belum hilang, Orang disini tidak hiraukan saya pe omongan ini, bagaimana ini saya cuma disuruh masuk dirumahnya kades,” sesalnya.
Keluarga Habel menyayangkan sikap aparat kepolisian yang tidak langsung membawanya ke Luwuk untuk pengamanan. Bahkan mereka menuding aparat kepolisian  membiarkan Habel tewas dibantai. Mereka meminta kepada pihak berwajib untuk mengusut tuntas kematian Habel. Keluraga korban bahkan mengancam kondisi tidak akan kondusif jika polisi tidak mengungkap kasus tersebut hingga terang benderang.
“Yang disayangkan, polisi tidak langsung membawa ke Luwuk, ini dorang simpan di Bunta,” tandas keluarga Habel.
“Habel bukan pelakunya, polisi musti catat siapa yang melakukan pembunuhan Habel, Habel cuma tertuduh, kalau dia yang ba bunuh, dia pasti so melarikan diri. Yang jelas, keadaan tidak aman kalau kasus ini tidak tuntas “, tambah Arsadin Balahanti, kakak Habel.
Sementara itu Kades Gonohop Marthinus Sepanog, menjamin bila warganya tidak akan bertindak anarkis atau terpancing akan hal-hal bisa memicu konflik yang lebih luas.  Ia meminta agar Polres Banggai bisa menambahkan personil keamanan di sektor Bunta, sebab dinilai jumlah aparat di Polsek Bunta masih kurang.
“ Kapolsek Bunta sudah cukup berusaha mengendalikan keamananan, hanya saja personil masih kurang, jadi kami meminta kepada Kapolres untuk menambahkan Personil,” ujarnya
Habel (50) warga Gonohop meninggalkan Istri dan 4 orang anak dan dimakamkan pada pukul 12, Sabtu (11/2) di Desa Gonohop.
Seperti diberitakan sebelumnya, usai penyerangan di Puskesmas Bunta, Habel kemudian dilarikan ke RSUD Luwuk dengan kondisi tangan kanan dan kaki kirinya nyaris putus, serta mulut nyaris terbelah dibagian kanan dan kiri, setelah menerima hantaman benda tajam.
Hasil pemeriksaan  Habel (50) yang dihimpun wartawan Media Banggai di Puskesmas Bunta, bahwa saat masuk Puskesmas dalam keadaan tidak sadarkan diri, luka robek pada pelipis kanan, alis kanan, kelopak mata bagian bawah sebelah kanan, perut bagian kanan dibawah rusuk ada lubang 7 x 7 cm.
Bagaimanakah pengusutan dua kasus  kematian warga ini, semuanya masih menunggu langkah kepolisian resort Banggai. Semua pihak berharap, polisi bisa bertindak sigap dan mempercepat proses pengusutan. Sementara berbagai pihak, diharap bisa menahan diri, dan para tokoh masyarakat mungkin memberi pemahaman soal proses hukum yang tengah berjalan. *