Meragukan Jalannya Fungsi Legislasi

Catatan Iskandar Djiada


Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa DPRD termasuk DPRD Kabupaten/Kota, memiliki tiga fungsi utama yakni fungsi controling atau pengawasan, fungsi budgeting atau penganggaran dan fungsi legislasi atau membuat aturan. Pelaksanaan ketiga fungsi ini secara maksimal sangat penting, demi menjamin bahwa kepentingan rakyat yang notabenenya adalah kelompok yang diwakili para wakilnya di DPRD, bisa terakomodir dalam setiap gerak dan langkah pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Karena tuntutan terbesar, adalah maksimalisasi pelaksanaan peran dan fungsi lembaga perwakilan rakyat tersebut, maka kunci utamanya adalah kehadiran sebuah parlemen berisi wakil rakyat yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugas sesuai fungsi lembaga perwakilan rakyat itu.
Ketika tujuannya adalah membangun parlemen yang berkemampuan melaksanakan fungsi-fungsinya, maka syarat utamanya adalah wakil rakyat yang juga memiliki kemampuan, kecakapan, kecerdasan pengetahuan dan penguasaan berbagai aspek tentang lembaga perwakilan. Karena hanya dengan memiliki wakil rakyat yang berkemampuan itulah, yang akan membuat parlemen juga menjadi mampu menjalankan fungsinya.

Persoalan kemampuan personal wakil rakyat ini, ternyata masih sering menjadi bahan perbincangan dibanyak tempat. Ragam sorotan, kritikan hingga cercaan, kerap disuarakan elemen tertentu dalam masyarakat, setelah melihat performance wakil rakyat selama ini.

Dengan tanpa menafikan soal keberadaan wakil rakyat yang telah memiliki kemampuan menjalankan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat yang sebenarnya, sorotan dan kritikan banyak kalangan terhadap kemampuan wakil rakyat itu memang patut menjadi catatan para politisi termasuk partai politik yang menempatkan kadernya dalam daftar caleg pada pemilihan umum silam.
Sebab hingga kini, pemandangan soal wakil rakyat yang tak memiliki kemampuan bicara, wakil rakyat yang tidak memiliki pemahaman terhadap ragam aturan di Indonesia, hingga wakil rakyat yang tahu soal keberadaan aturan namun tak memiliki kemampuan memahami aturan yang ada tersebut, seolah menjadi pemandangan keseharian.
Dalam sebuah kejadian kecil namun berdampak luar biasa saja, pernah ada anggota DPRD kabupaten yang berselisih paham soal cara membaca sebuah pasal dalam salah satu peraturan pemerintah. Sepintas masalah itu sepele dan wajar-wajar saja. Berbeda pendapat itu biasa. Namun hal yang tidak wajar, adalah ketidak pahaman dalam membaca aturan yang dibuat pemerintah pusat, dan kemudian justru berdampak pada pemborosan keuangan daerah, sebab para wakil rakyat itu harus melakukan konsultasi (baca : pigi batanya) pada pemerintah pusat. Lucunya, begitu banyak sarjana hukum hingga yang bergelar magister hukum di lembaga perwakilan rakyat dalam kasus tersebut, namun ternyata untuk membaca satu pasal saja, mereka harus kelimpungan hingga akhirnya harus merogoh kocek daerah, dengan atas nama hak berkonsultasi atau hak pigi batanya itu.
Dalam kejadian kecil yang penulis gambarkan ini, ada sebuah catatan menarik yang menggambarkan betapa DPRD yang sejatinya memiliki fungsi legislasi atau fungsi membuat aturan, ternyata belum layak untuk menjadi pembuat aturan. Bagaimana mau jadi pembuat aturan, ketika membaca satu pasal dalam sebuah aturan saja ternyata bingung. Kalau wakil rakyat yang katanya adalah orang-orang pilihan saja bingung, lalu bagaimana dengan rakyatnya ? Siapkah mereka yang dipercaya sebagai wakil rakyat itu menjalankan fungsi legislasi atau pembuat aturan ? kebanyakan orang mungkin akan menjawab dengan geleng-geleng kepala, antara menjawab belum bisa atau tak bisa memastikan kemampuan para wakilnya.**