Mogok Kerja: Kekuatan Fenomenal Pekerja

 Catatan: Firman Ibrahim Suling, jurnalis


Suatu saat menjelang sholat subuh diawal bulan Pebruari lalu, saya sempat berjalan mengendarai mobil menuju wilayah Kecamatan Toili. Suara lantunan Al-Qur’an merdu terdengar menyambut fajar dan pagi hari. Kota Luwuk saat itu masih sangat sunyi. Sesekali saya melihat beberapa orang 
berjalan menuju masjid. Lain orang saya lihat berdiri disisi jalan. Mereka memakai seragam sebuah perusahaan sembari menunggu bus yang mengangkut menuju tempat kerja. 
Sepanjang jalan dari Luwuk sampai di Kecamatan Kintom, orang-orang berseragam itu banyak yang berdiri dipinggir jalan. Mereka juga menuggu bus. Ada juga yang naik motor menuju tempat kerja di lokasi eksploitasi migas Donggi-Senoro. Saya tahu mereka menuju lokasi eksploitasi migas karena saya membacanya dari baju yang dikenakan. Orang di daerah ini ternyata cukup patuh dan rajin. Subuh hari mereka sudah berangkat ke tempat kerja. Harapannya, mendapatkan gaji atau upah yang layak untuk kemanusiaan. 
Sebagai warga daerah ini, saya berbangga dengan banyaknya investasi yang masuk. Apalagi, konon kabarnya, dana investasinya sangat besar. Investasi itu tentu saja berdampak pada tingginya permintaan tenaga kerja yang tentu saja bisa disediakan daerah ini. Saya cuma berharap, jangan ada kong kalingkong terhadap para pekerja. 
Sebab, sepengetahuan saya, jam kerja normal itu maksimal 8 jam. Jika terjadi kelebihan waktu kerja, maka, kelebihan waktu kerja itu merupakan keuntungan para pemilik modal. Karena itu, setiap kelebihan waktu kerja harus dihitung lembur. Tingginya permintaan terhadap pekerjaan jangan membuat pihak perusahaan menjadikannya posisi tawar. Maksudnya, jangan karena banyak orang yang mencari lowongan pekerjaan lantas dijadikan peluang untuk mengangkangi hak pekerja demi keuntungan yang berlipat-lipat. Karena banyaknya permintaan terhadap pekerjaan lantas hak pekerja seperti uang lembur, uang makan, jaminan kesehatan dan jaminan keselamatan kerja sebagaimana ketentuan perundang-undangan, diabaikan. Itulah yang saya sebut dengan mengangkangi hak pekerja. 
Buruh, pekerja, -atau dalam bahasa yang diperhalus, karyawan, adalah kekuatan ekonomi sekaligus kekuatan politik. Kekuatan para pekerja itu yang menjadikan semua kebutuhan hidup sebuah bangsa menjadi terpenuhi. Tanpa buruh tani, produksi pertanian kemungkinan besar tidak akan jadi. Tanpa buruh pabrik, tanpa buruh transport, tanpa buruh bongkar muat, semua barang yang kita nikmati tidak akan dengan mudah didapatkan. 
Benar bahwa pemilik modal punya andil. Tapi, modal mereka modal menyusut dan tidak bergerak. Modal paling utama adalah tenaga kerja. Benar pemilik kapital atau pemodal punya uang untuk membeli bahan baku dan mesin untuk melakukan produksi. Tapi, tanpa kekuatan massal kaum pekerja, semua itu hanya onggokan kertas dan besi tanpa nyawa. Itu bisa dibuktikan andai kekuatan kaum pekerja, secara massal berhenti melakukan aktivitasnya atau lazim disebut mogok kerja. 
Sewaktu di Makassar, saya pernah melihat ribuan buruh berhenti kerja dan melakukan unjuk rasa. Saat itu, bulu roma saya berdiri. Belum pernah saya melihat jalan protokol Perintis Kemerdekaan dipenuhi barisan buruh sepanjang kurang lebih 4 kilometer. Ribuan buruh dari berbagai serikat pekerja di lokasi Pabrik KIMA (Kawasan Industri Makassar) berhenti melakukan proses produksi dan menuju Kantor Gubernur di Panaikang. Saya membayangkan, betapa meruginya perusahaan gara-gara pekerjanya mogok selama satu hari. Dan saat itu, tidak ada satu pun kekuatan politik yang bisa menahan gerak aksi ribuan buruh pabrik KIMA. 
Saat itu juga saya membayangkan, bagaimana jadinya, andai suatu saat, buruh di pelabuhan Luwuk mogok kerja untuk minta kenaikan upah. Atau pekerja di Donggi-Senoro mogok kerja hanya untuk menuntut hak-hak mereka. Saat membuat tulisan ini pun saya sempat membayangkan, bagaimana jadinya andai separuh PNS mogok kerja gara-gara TKD (Tunjangan Kinerja Daerah)-nya dicabut sebagaimana instruksi Gubernur Sulteng Longki Djanggola? Entahlah. Yang saya tahu, kekuatan dari aksi mogok pekerja memang fenomenal. ***