Negeri Para Pemimpi

Catatan : Gafar Tokalang; wartawan

 
Ketika pemerintah daerah menyebut prioritas pembangunan daerah bertumpu pada desa, dengan semangat pembangunan yang diarahkan pada pembangunan ekonomi kerakyatan dengan mengoptimalkan potensi lokal, maka sejak itu muncul harapan banyak orang daerah ini akan mengalami perubahan yang luar biasa menuju kesejahteraan rakyat.

Namun slogan-slogan Membangun Banggai Dari Desa itu, sampai saat ini masih sebatas mimpi para penentu kebijakan. Belum terlihat jelas, kebijakan daerah yang sedang atau akan mengarah pada perwujudan semangat membangun Banggai dari desa, seperti yang sering disebutkan dimana-mana itu.

Mari kita lihat kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Banggai pada tahun 2012 untuk sektor pertanian. Dari Rp.15 miliar lebih alokasi anggaran belanja yang dialokasikan Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai di Dinas Pertanian Kabupaten Banggai, terdapat 10 miliar lebih yang diarahkan untuk program yang berkaitan dengan kepentingan rakyat. Sayangnya, dari sekitar Rp.10 miliar lebih itu, hanya Rp.158 juta saja alokasi anggaran yang dikucurkan untuk program yang berkaitan dengan peningkatan produksi pertanian/perkebunan.

Padahal, dalam dokumen RPJMD Kabupaten Banggai tahun 2011-2016, disebutkan bahwa 93,98 persen wilayah desa dan kelurahan di daerah ini memiliki potensi pertanian dan ketahanan pangan, dengan lebih dari separuh penduduk Kabupaten Bangai bekerja sebagai petani. Secara teoritik, kesejahteraan petani akan meningkat sejalan dengan peningkatan produksi pertanian yang meningkat. Hanya saja, bagaimana mungkin produksi pertanian bisa meningkat pada tahun 2012 mendatang, jika alokasi anggaran yang disediakan Pemda Banggai melalui Dinas Pertanian Kabupaten Banggai hanya sebesar Rp.158 juta lebih.

Berbicara pembangunan ekonomi berdasarkan potensi lokal, maka pembangunan sektor pertanian menjadi hal yang sangat penting. Sebap, seperti yang saya sebutkan diatas, dalam dokumen RPJMD 2011-2016 Pemda menyebutkan bahwa 93,98 persen wilayah desa dan kelurahan di Kabupaten Banggai memiliki potensi pertanian dan tanaman pangan. Maka jelaslah bahwa salah satu potensi ekonomi lokal yang dimiliki Kabupaten Banggai berada pada sektor pertanian. Seharusnya, keberpihakan anggaran daerah diarahkan pada peningkatan produksi disektor pertanian. Pertanyaannya, mengapa Pemda Banggai begitu pelit dalam mengalokasikan anggaran pada sektor ini?.

Pemda Kabupaten Banggai sepertinya ingin merubah ‘icon’ daerah ini, dari “salah satu kabupaten penghasil beras,” menjadi “salah satu kabupaten penghasil ternak” di Sulawesi Tengah.

Sebab, alokasi anggaran di Dinas Pertanian Kabupaten Banggai, justru lebih besar dicurahkan pada program peingkatan produksi hasil peternakan yakni sebesar Rp.5,8 miliar pada APBD 2012, yang salah satu kegiatannya adalah membangun “kandang desa.” Angka ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan anggaran untuk peningkatan produksi pertanian yang justru hanya dialokasikan sebesar Rp.158 juta.

Konsep mensejahterakan rakyat melalui sektor peternakan memang sebuah gagasan yang mulia, namun harus disadari bahwa gagasan itu sangat tidak terukur dan tidak jelas. Bagaimana mungkin program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan ekonomi kerakyatan dengan mengoptimalkan potensi lokal seperti yang ditulis dalam RPJMD itu bisa terwujud, jika kita hanya membangun sektor peternakan dan mengabaikan sector pertanian yang justru menjadi tumpuan sebagian besar rakyat?.

Seberapa besar kontribusi sektor peternakan terhadap pergerakan ekonomi Kabupaten Banggai selama ini? Seberapa efektifikah anggaran sebesar Rp.5,8 miliar dalam merubah Banggai yang dikenal dengan penghasil beras menjadi Banggai yang dikenal dengan penghasil ternak/daging? Semua ini adalah mimpi. Ayolah bangun dari tidur, dan sadarlah bahwa kita sedang hanyut dengan mimpi buruk yang semakin tidak terkendali.

Konsep membangun Banggai dari desa sesungguhnya adalah sebuah gagasan yang brilian. Sangat disayangkan jika gagasan brilian itu hanya sampai pada teks-teks pidato dari desa ke desa, dari kecamatan ke kecamatan, atau dari kunjungan kerja ke kunjungan kerja yang dilakukan para pejabat daerah, tanpa realisasi yang jelas dan nyata. Jika semua gagasan cemerlang yang kita miliki selama ini hanya sampai pada pidato dan tidak bisa terwujud, maka tak mustahil jika satu saat nanti daerah kita akan dikenal dengan ‘negeri para pemimpi.’(*)