Untuk Saudaraku di Tompotika

Oleh: Firman Ibrahim Suling, wartawan

Memprihatinkan. Menyedihkan. Dua kata itu yang rasanya paling pas menggambarkan kondisi dan nasib wilayah dikaki gunung Tompotika. Wilayah Kecamatan Masama, Lamala, Balantak dan Bualemo. Jalannya rusak parah. Dari dulu. 
Suatu ketika, pertengahan Tahun 2011, saya sempat kaget. Saat itu, saya mau ke Balantak. Saya berinisiatif lewat wilayah Kecamatan Lamala. Sudah cukup lama saya tidak lewat disitu. Selain itu, saya juga ingin menikmati jalannya yang cukup baik karena beraspal serta pemandangan dan angin lautnya. Biar lama tapi setidaknya tidak sakit badan seperti lewat jalur Labotan-Boloak-Tongke. 
Tapi perkiraan saya jauh panggang dari api. Perkiraan saya keliru. Meleset. Dari Panta Bebe, jalan yang saya kira masih baik ternyata sudah rusak. Masuk Desa Lomba juga begitu. Diujung Desa Nipa, di kampung kawan saya, Yosdi Kamati, sebuah batang pisang berdiri tepat ditengah jalan. Batang pisang itu ditanam warga ditengah jalan yang sudah rusak parah. Apakah itu bentuk protes atau karena minim lahan, walahu’alam. 
Nasib infrasturktur di wilayah kepala burung memang miris. Paling tidak, miris buat saya yang lahir dan besar diwilayah sana. Saya tidak tahu orang lain yang sama sekali tidak punya sanak saudara disana. Mungkin, saat lewat, mereka prihatin. Tapi sampai di Luwuk, keprihatinan itu hilang. Menguap. Keprihatinan tentang Masama, Lamala, Balantak dan Bualemo tidak terdengar dalam perbincangan. 
Jika dirunut satu persatu, kerusakan infrastruktur itu cukup banyak. Dibagian wilayah Balantak, ada rumah bidan yang tidak terpakai. Ada banyak bangunan-bangunan pemerintah yang terlantar. Semua itu selama puluhan tahun tidak disentuh. Tapi, mudah-mudahan masyarakat bisa maklum. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) belum cukup. Dan, mudah-mudahan juga, Tahun 2025 anggaran itu baru bisa dicukupkan ke wilayah Tompotika.
Rasa kecewa warga di Masama, Lamala, Balantak dan Bualemo dengan fasilitas jalan yang rusak, pasti ada. Bahkan, dalam bahasa main-main, kerusakan jalan itu bisa membuat orang hamil keguguran. “Kalau ada yang mau menggugurkan kandungan, tidak usah pusing. Jalan saja ke Masama-Lamala-Balantak,”. Kekecewaan dan protes-protes itu juga diwujudkan dalam bentuk dukungan yang kuat terhadap upaya pemekaran. Lamala dimekarkan jadi Masama, lalu dimekarkan jadi Mantok. Balantak juga mekar menjadi Balantak Selatan. Lalu sekarang dimekarkan lagi menjadi Balantak Utara. Tidak lama atau bahkan mungkin bersamaan dengan ide-ide pemekaran kecamatan-kecamatan itu, muncul ide pemekaran Kabupaten Tompotika. Sebuah ide luar biasa yang muncul dari anak-anak muda. 
Pertemuan-pertemuan untuk gagasan Tompotika Raya, digelar. Rapat-rapat antar tokoh juga dihelat hingga ke Bualemo. Bahkan, saking besarnya harapan untuk melahirkan Tompotika Raya, ide itu lalu dipolitisir dalam momen-momen politik. Kata, kawan saya di Serese, Masama, isu Kabupaten Tompotika Raya sempat dijual untuk kepentingan politik dukung mendukung. Tentu saja saya kaget. 
Entah analisa saya benar atau salah, lalu bilang ke kawan saya itu bahwa Kabupaten Tompotika Raya itu cuma mimpi. Sebab, meski syaratnya ada tapi kehendak politik belum ada. Ada moratorium pemekaran oleh presiden. Belum lagi kepentingan bisnis. Bisa dibayangkan, bagaimana jadinya bila Kabupaten Tompotika Raya lahir. Tentu saja, izin bisnis harus diurus di wilayah baru yang sudah tentu dengan jaringan birokrasi dan politik yang baru pula. Jelas hal ini tidak diinginkan para pengusaha dan jaringan politiknya. Sebab, wilayah baru berarti biaya baru.*