Bupati dan Tambang Nikel Dimata Rakyat Pagimana

Catatan : Heru Hidayatullah,


Dana kompensasi yang dijanjikan PT Anegerah Sakti Utama (Astima) dalam pertemuan yang dihadiri Pemda Banggai dan tim sembilan bersama kepala-kepala desa binaan perusahaan, telah disepakati untuk setiap pengangkutan ore per kapalnya sebesar Rp.1000 per ton atau Rp.50juta per kapal hingga kini tidak dipenuhi.

Meski perusahaan tak memenuhi kewajibannya, Pemda pun diam seribu bahasa. Wajar saja jika isu-isu miring yang menerpa pemerintahan Sofhian Mile menjadi bulan-bulanan. Bagi sebagian masyarakat Pagimana, Bupati Banggai Sofhian Mile disebut sebagai orang yang memiliki banyak hutang. "Bupati itu banyak hutang disini," begitu kata Arifin Sahabat,Tokoh Masyarakat Desa Jaya Bakti.

Mungkin pernyataan itu ada benarnya. Lihat saja pemberian bantuan untuk Kecamatan Pagimana sama sekali tak tersentuh oleh Pemda. Padahal janji politik saat kampanye terlalu banyak yang dia sebut saat ini hanya jadi surga telinga. Pembangunan Masjid Al-Ijthad Kecamatan Pagimana yang sudah dibongkar karena janji Ketua Tim Smile-win,Murad Husain akan membangun Masjid tersebut bila Sofhian Mile menang dalam Pilkada. Namun nyatanya, hingga hari ini, masjid yang terlanjur dibongkar itu, tak bisa lagi digunakan untuk tempat Ibadah. Untuk membangun masjid itu, masyarakat Pagimana hanya mengandalakan bantuan dari swadaya dari masyarakat, tak heran jika banyaknya kotak amal di berbagai tempat disudut pertokoan tersebar bak jamur.

Janji yang paling teranyar, adalah ketika acara nikah massal di Pagimana baru-baru ini saja. Beruntung, janji itu sudah dipenuhi. Bantuan yang diberikan senin lalu sebesar Rp1 juta perpasangan pengantin, kata camat pagimana adalah uang pribadi dari pak bupati yang terhormat.

Benarkah demikian? Isu yang berkembang jika dana bantuan tersebut justru diperoleh dari perusahaan nikel PT Astima yang beroperasi di Pagimana.

Hal tersebut juga diamini oleh kalangan internal perusahaan,namun lagi-lagi kebenaran informasi itu ketika ingin ditanyakan kepada pihak perusahaan, selalu terhalang oleh kerasnya dinding penjagaan perusahaan yang disebut "security."

Kembali pada persoalan pokok tadi, soal dana kompensasi yang dijanjikan perusahaan, kepala desa jaya Bakti,Mirto Pakaya, mengatakan, hingga detik ini dana tersebut sama sekali tak pernah diberikan oleh perusahaan. Ia juga mempertanyakan Tim sembilan bentukan pemda Banggai itu,siapa mereka dan siapa saja orang-orangnya yang terlibat? "Kebingungan saya tim sembilan ini siapa-siapa orangnya," tanya kades heran.

Jika saja pemda mau jujur dan peduli nasib warganya, persoalan tersebut seharusnya tidak didiamkan begitu saja, para wakil rakyat yang duduk diteluk lalong sana pun juga ikut-ikutan bungkam. Bagi perusahaan sebenarnya dana Rp.50 juta itu sangat kecil.

Ambil contoh di Kabupaten tetangga Morowali, di desa lele kecamatan Bahodopi, ada perusahaan nikel yang bernama CV.Tridaya jaya memberikan kompensasi setiap pemuatan ore sebesar Rp.750juta per kapalnya untuk desa tempat beroperasinya perusahaan atau ring satu. Warga disana tak mengizinkan kapal mengirimkan ore nya jika pembayaran belum dilunasi. Belum lagi dana-dana uang debu, uang bising dan uang getaran yang dipenuhi perusahaan. Dan yang pasti setiap KK di desa Lele memperoleh uang dari perusahaan setiap bulannya yang lumayan besar. Dana itu belum termasuk dana Corporate Social Responsibility (CSR). Lalu bagaimana di Kabupaten Banggai? Yang jelas masyarakat diwilayah binaan perusahaan belum tersentuh. Jangankan bantuan atas kesepakatan bersama soal kompensasi Rp.50juta per kapalnya, program CRS saja tak nampak. "Nanti saja balik saya masih di Jakarta," begitu kata Hence Wongkar, bos PT Astima, ketika menjawab via SMS, saat dimintai penjelasannya terkait dana-dana kompensasi tersebut.***