Perjuangan Siswa Pedesaan Menuntut Ilmu

*Tak sekolah bila tak ada tumpungan


LOBU-Cuaca siang itu terlihat mendung, sepertinya akan turun hujan. Rombongan siswa-siswi SMPN 1 Lobu Kecamatan Lobu, belum beranjak dari tempat duduknya dipinggiran jembatan tertua peninggalan penjajah Belanda itu, dan mata mereka nampak liar menengok kearah datangnya kendaraan yang akan melintasi jembatan itu, demi menanti sebuah angkutan apa saja untuk membawa mereka pulang ke rumah di desa sebelah. Sambil memperhati-kan setiap kendaraan yang akan melintas di jembatan itu, Ika bersama rekannya, murid di SMPN 1 Lobu, mengaku belum pulang ke rumahnya, meski hari itu sekolah cepat selesai, karena bertepatan dengan hari Sabtu, sebab belum ada kendaraan yang bersedia mengangkut mereka. Sementara itu, teman-temannya yang lain sudah pulang lebih awal meski  harus berjalan kaki sejauh lima kilometer menuju tempat tinggal masing-masing. Bahkan ada yang jaraknya lebih jauh lagi, karena mereka berdomilisi di desa-desa yang terpisah jauh di Kecamatan Bunta. Sementara sekolah mereka berada di Kecamatan Lobu. “Rumah kami agak jauh, jadi kami harus menunggu tumpangan apa saja yang lewat,” kata Ika yang duduk di pinggir jalan bersama temannya. Ika, siswa kelas II SMPN Lobu, setiap hari berangkat dari rumahnya ke sekolahnya menumpang truk atau kendaraan apa saja yang  kebetulan melintas. Minimnya sarana transportasi umum, sehingga murid sekolah di desanya itu harus berjalan kaki berkilo-kilometer. “Syukur kalau ada tumpangan,kalau tidak ada terpaksa jalan kaki,” katanya. Keprihatinan itu juga diungkapkan puluhan temanya, murid SMPN 1 Lobu yang mengaku sering berjalan kaki bila tak ada tumpangan untuk pulang kerumah. Teriknya panas membakar kulit, dan kadang kala hujan, sudah hal biasa bagi anak-anak sekolah di desa ibukota Kecamatan Lobu tersebut. Murid berparas hitam manis itu mengaku tidak bersekolah bila tak ada tumpangan. Hal senada juga dikatakan teman-teman lainnya. Kadang kalau mau sekolah lalu tak ada tumpangan, mereka terpaksa tak ke sekolah. Kalau mau pulang pun kadang mereka menunggu tumpangan hingga pukul 15.00. Namun bila tak ada tumpangan sampai jam 15.00, mereka pun terpaksa menempuh jalanan berki-kilometer melintasi hutan, dengan berjalan kaki untuk pulang kerumah masing-masing. Murid di daerah tersebut sangat meng harapkan pemerintah  menyediakan angkutan sekolah agar proses belajar dan mengajar berjalan normal,  karena jika dibiarkan berlarut dikhawatirkan mutu pendidikan menjadi tertinggal. Adanya angkutan yang bisa mengangkut anak-anak sekolah itu juga menjadi harapan para orang tua siswa. Mereka juga tak mengharapkan mobil yang mewah atau bis sekolah seperti dikota-kota besar. Mereka hanya butuh tumpungan dari dan ke sekolah, Truk sekalipun tak jadi soal.***