Benarkah Bank Sampah Jadi Solusi

Catatan: Yanto Idris


Masalah sampah di kota Luwuk memang sudah pada titik nadir. Sampah bertumpuk dan mengeluarkan bau tidak sedap hampir terlihat disetiap sudut kota. Terlebih sampah yang ada di pasar simpong Luwuk yang sudah tidak karuan lagi.

Sampah alias limbah rumah tangga memang patut dijadikan musuh bersama, sebab sampah-sampah ini bukan saja mengganggu pemandangan juga menjadi sarang penyakit dan menjauhkan kesan Kabupaten Banggai sebagai kota yang pernah merebut piala Adipura.

Instansi keselas Dinas Cipta Karya dan Tataruang (Disciktar) yang nota benenya dilengkapi dengan fasilitas kendaraan operasional dan tenaga kerja saja sampai keteteran menghadapi serbuan sampah yang terlihat bertumpuk dimana-mana. Salah satu usaha yang dilakukan Disciktar untuk mengatasi sampah ini, pekerja bagian kebersihan terpaksa harus kerja lembur untuk mengangkut sampah dan membuangnya di tempat pembuangan akhir (TPA). Meski demikian, langkah itu juga tidak efektif untuk mengatasi masalah sampah di Luwuk.

Belum selesai masalah sampah di kota Luwuk, keberadaan tempat pembuangan akhir (TPA) masih menyisahkan permasalahan, karena TPA tersebut berada tepat disekitar badan jalan di Mololuntun Luwuk. Kondisi tersebut, terang menimbulkan keluhan terhadap pengguna jalan, selain dari bau, akibat asap dari pembakaran mengganggu pengguna jalan yang melintas ditempat itu.

Akibat permasalahan sampah ini, kemudian munculah sebuah gagasan baru dengan nama Bank Sampah untuk atasi persoalan pelik soal sampah ini. Sampah-sampai ada sayembara untuk pembuatan logo Bank Sampah. Hal ini patut diapresiasi, karena untuk persoalan lambang kebesaran lembaga yang baru diresmikan itu mengajak partisipasi publik, dengan hadiah yang menggigit.

Dibalik kemeriahan peresmian Bank Sampah sampai dengan ada sayembaraan untuk pembuatan logo, ternyata keberadaan lembaga ini belum dikenal warga, bahkan ada yang belum tahu apa itu Bank Sampah. Bagaimana menjalankan perannya jika dikenal saja belum.

Mestinya, sebelum diresmikan Bank Sampah harus terlebih dahulu melakukan uji publik, agar keberadaan Bank Sampah ini bukan hanya megah diseremonialnya, sementara lemah diimplementasinya. Padahal yang jauh lebih penting adalah apa dan bagaiaman peran Bank Sampah ini diketahui masyarakat dan membuka kesadaran masyarakat untuk bersama-sama mendukung dan berpartisipasi terhadap Bank Sampah tersebut. Perlu diketahui, permasalahan sampah tidak cukup hanya dengan mendirikan Bank Sampah tanpa membangun kesadaran warga terlebih dahulu, dengan intens membangun sosialisasi hingga ketingkat kelurahan dan desa di Kecamatan Luwuk dan sekitarnya. Jangan sampai Bank Sampah ini justru hanya jadi lembaga yang mubasir, karena tidak jelas sasaran dan perannya dimasyarakat.

Melirik keberadaan Bank Sampah di kota-kota yang sudah lebih dahulu menerapkannya, memang terbilang berhasil. Sebab masyarakat menjual limbah rumah tangganya kepada Bank Sampah. Tapi tidak sedikit juga yang gagal mengelolanya dan hanya menimbulkan kerugian karena tidak sedikit dana yang dikucurkan untuk program tersebut.

Tapi dibalik itu semua, Bank Sampah kini menjadi satu-stunya tumpuan masyarakat cinta kebersihan untuk atasi limbah rumah tangga tersebut.**