MENGENANG SEJARAH HARI PATRIOTIK PAGIMANA

Kematian Jenggo Itom dan Jenggo Pute Pelecut Perjuangan

Hari Patriotik Pagimana yang diperingati setiap tanggal 12 Februari setiap tahunnya ternyata menyimpan sejarah keberanian Suku Saluan melawan penjajah Belanda yang menguasa Kota Luwuk. Tapi, tahukah anda siapa panglima yang mengobarkan perjuangan?


Berikut tulisan sejarah Hari Patriotik yang disampaikan setiap peringatan.

Di wilayah Pagimana, perlawanan heroik dilakukan pemimpin Suku Loinang sebutan untuk Suku Saluan tempo dulu dengan dua pemimpin dengan predikat Talenga sebagai panglima perang yaitu Jenggo Itom (Jenggot Hitam) dan Jenggo Pute (Jenggot Putih).

Talenga dalam Bahasa Saluan memiliki arti yakni seseorang yang memiliki pendengaran tajam dan cepat untuk mengetahui gerakan musuh. Bertahun-tahun lamanya bangsa Belanda mengejar para pejuang Loinang tanpa belas kasihan. Mereka dibunuh dan diperlakukan seperti binatang. Sehingga, kelompok-kelompok masyarakat itu tetap memilih mendiami daerah-daerah pegunungan sampai sekarang ini.

Jenggo Pute dan Jenggo Itom akhirnya tewas dalam pertempuran menghadapi ekspedisi bangsa Belanda. Tetapi satu hal yang menjadi kebanggaan Suku Loinang Saluan adalah visi kedua panglima itu yang diucapkan saat-saat menghembuskan nafas terakhir di hadapan para pemngikutnya. “Dosok nu moane na malai, lebeh maima aku malekmo hinggat-hinggat tiba sangalungku (Artinya: pantangan seorang laki-laki melarikan diri, lebih baik saya mati dengan kawan-kawan saya ini. Lambat atau cepat ukuran kubur hanya sedepa,”.

Kematian Jenggo Pute dan Jenggo Itom inilah, awal sejarah tersebarnya Suku Loinang yang sampai saat ini mendiami pegunungan Kabupaten Banggai darat.

Perjuangan rakyat Pagimana tidak terhenti, karena kematian Jenggo Pute dan Jenggo Itom. Tetapi, perjuangan berlanjut. Tahun 1933 umat Islam Pagimana yang terdiri dari organisai Islam seperti PSII, Muhammadiyah, NU mengadakan rapat umum dalam menyambut Idul Adha di Lapangan Kampung Pala.

Pada rapat umum yang berlafazkan perjuangan itu, turut pula dikumandangkan lagu Indonesia Raya yang membangkitkan semangat anti penjajah Belanda.

Oleh Jaksa S Sarau yang mewakili pemerintah ketika itu melaporkan peristiwa tersebut. Seluruh panitia kemudia ditangkap dan diajukan ke pengadilan adat yang diketuai oleh Raja Awaludin. Pemerintah saat itu beranggapan bahwa panitia telah melanggar adat kerajaan, di mana peristiwa itu tidak pernah terjadi di manapun di wilayah Kerajaan Banggai.

Panitia yang ditangkap waktu itu adalah Ketua Baksir Maksum, Wakil Ketua TS Bullah dari PSII, Sekretaris AA Lagonah, Wakil Sekretaris M. Tapo, Yusuf Monoarfa, SP Makarao, A Taha, TA Amir, TD Zaman, dan Abdau Masulili.

Berdasarkan keputusan dewan adat Kerajaan Banggai menjatuhkan vonis Baksir Maksum, SA Amir, dan TD Zaman dihukum denda 10 pon atau penjara tiga hari. TS Bulla, AA Makarao, dan Abdau Masulili dihukum tujuh hari. Sedangkan A Lagonah dan Yusuf Monoarfa diadili secara khusus, karena telah merubah acara yang ditetapkan pemerintah. Yusuf Monoarfa dihukum enam bulan dan A Lagona dihukum empat bulan.

‘Singa Betina’ Kobarkan Semangat Perlawanan

DI BALIK sejarah heroik itu, ternyata terdapat tiga pendekar dari kaum Hawa yang mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajahan Belanda dengan seruan melalui pidato mereka. Tulisan ini disadur dari penuturan sejarah di peringatan Hari Patriotik Pagimana yang digelar setiap tanggal 12 Februari.


PERISTIWA Hari Patriotik melibatkan tiga pendekar Pagimana yaitu Poyang Masulili, Pio Upiki dan Titi Badjarat yang dikenal sebagai ‘Singa Betina’ dengan pidato-pidato menyerukan penolakan terhadap pemerintah Belanda. Ketiganya kemudian ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Pidato tiga ‘Singa Betina’ itu terkenal dengan kalimat “Mosaangu na kita salamat, mogaat kita kiamat” (Bersatu kita selamat, bercerai kita kiamat).

Seruan-seruan demikian ditanggapi pemerintah Belanda. Belanda menilai, ungkapan itu mengandung makna politik secara terang-terangan melawan dan mencerminkan sikap membangkang terhadap pemerintah Belanda.

Peristiwa menjelang Hari Patriotik diawali dengan pengibaran bendera merah putih di Gorontalo pada tanggal 23 Januari 1942 yang menunjukkan keberanian Nani Wartabone. Namun pengibaran bendera merah putih belum secara keseluruhan termasuk di wilayah kerajaan Banggai yang masih dikuasai oleh pemerintah Belanda.

Oleh karena itu, Nani Wartabone memerintahkan kepada TS Bulla untuk melancarkan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Strategi perlawanan telah diatur dari Gorontalo. Kedatangan TS Bullah di Pagimana disambut rekan seperjuangannya untuk sesegera mungkin melancarkan serangan terhadap pemerintah Belanda di Kota Luwuk.

Sebagai langkah awal atas keinginan itu, maka pada tanggal 6 Februari 1942 bertempat di rumah salah seorang warga keturunan Tiong Hoa bernama Teng Fu Yu, diadakan rapat untuk membahas situasi dan kondisi terkhir baik secara nasional ataupun international, termasuk situasi dan kondisi Kerajaan Banggai.

Berdasarkan saran dan pokok pikiran yang disampaikan oleh peserta rapat, maka diambil keputusan untuk membentuk organisasi kecil dengan maksud agar perlawanan terorganisir dengan baik. Rapat tersebut menghasilkan berbagai keputusan. Pertama, organisasi induk merah putih yang diketuai oleh TS Bulla dan delapan orang pembantu yakni MA Makarao, SP Makarao, A Lagonah, YS Monoarfa, Lanasir, Teng Fu Yu, N Huyato serta Dedi Misilu.

Kedua, pembentukan gerakan pemberontak merah putih dalam mewujudkan keinginan melakukan penyerangan ke kota Luwuk kepada pemerintah Belanda, maka dibentuklah pasukan bernama merah putih. Komandan I, Intje Umar Dahlan, Komandan II, AR Lanasir, anggota Yusuf Monoarfa, Dedi Misilu, Ahmadi Tapo, Manggo Masulili, Dahlan Lagonah.

Ketiga, pembentukan bagian informasi dan komunikasi. Tahap pertama A Lagonah dan Ai Badjarat. Tahap kedua, Ahmad Talehaan dari Lobo, S. Karia dan kawan-kawan dari Bunta serta TS Sutaryo dan kawan-kawan dari Luwuk.

Keempat, keadaan dinyatakan darurat dan disampaikan kepada masyarakat yang berada di kampung sekitar Pagimana dan jalan yang menghubungkan Pagimana-Luwuk ditutup dengan penjagaan ketat.

Kelima, kampung Poh ditetapkan sebagai tempat penjagaan yang ketat.

Pada tanggal 8 Februari 1942, seorang jaksa VC yang dilengkapi bahan peledak bom berkeinginan menghancurkan Lobu yang kemudian digagalkan oleh pasukan merah putih dipimpin oleh Ahmad.

Pada tanggal 9 Febrari 1942, kepala resor Tomini Bok Roling Pandei yang berkedudukan di Lobu tak tahan menghadapi ancaman akhirnya menyerah dan menyerahkan diri kepada Ahmad, dan kemudian diteruskan kepada TS Bullah sebagai pucuk pimpinan pasukan merah putih.

Pasukan Merah Putih Serang Kota Luwuk

DI bagian cerita krusial Hari Patriotik Pagimana yang diperingati setiap tanggal 12 Februari itu adalah penyerangan pasukan Merah Putih ke Kota Luwuk tempat para penjajah Belanda. Tulisan ini disadur dari penuturan sejarah di peringatan Hari Patriotik Pagimana yang digelar setiap tanggal 12 Februari.


Tanggal 11 Februari 1942, pukul 13.30 tepatnya hari Jumat bertempat di rumah Abdau Masulili diadakan baca do’a pemberangkatan pasukan Merah Putih yang dikenal sebagai pasukan utama atau pasukan pamungkas terdiri dari 12 orang bersenjata senapan laras dua, golok dan bambu runcing. Pasukan ini di bawah pimpinan satu Intje Umar Dahlan, dan Kamondan Dua AR Lanasir berangkat menuju Luwuk.

Pukul 03.00 dini hari, pasukan Merah Putih tiba di Kilometer Satu Luwuk. Dan pasukan dibagi dalam dua kelompok.

Kelompok satu dipimpin oleh AR Lanasir, dan Yusuf Monoarfa. Kelompok Dua dipimpin oleh Intje Umar Dahlan.

Untuk mengetahui situasi kota Luwuk ditugaskan kepada Daeng Maka yang dalam waktu singkat dapat memperoleh informasi. Strategi penyerangan dibagi dua yakni kelompok yang dipimpin oleh AR Lanasir dan Yusuf Monoarfa melakukan serangan dan menguasai stasiun radio dan kapal SS Urania milik pemerintah Belanda. Sementara kelompok yang dipimpin Intje Umar Dahlan bertugas menangkap orang Belanda dan orang Indonesia yang bekerjasama dengan Belanda.

Pemimpin pemerintah Belanda dan stafnya ditangkap dan menyerahkan kekuasaanya kepada DS Sutaryo, mewakili pasukan Merah Putih.

Mereka yang ditangkap dijebloskan ke dalam penjara. Bendera merah putih biru milik Belanda diturunkan dan dirobek bagian warna birunya. Setelah itu dinaikkanlah bendera merah putih yang diiringi lagu Indonesia Raya.

Tepatnya jam 10 pagi Sabtu tanggal 12 Februari 1942, pengorbanan dan tugas pasukan Merah Putih selesai. Sejak itulah bendera merah putih berkibar di Kerajaan Banggai.

Pada tanggal 14 Februari 1942, para pemimpin pejuang Merah Putih melaksanakan musyawarah membentuk tim delegasi untuk menghadap Raja Banggai guna menyampaikan bahwa sesungguhnya kedaulatan di tangan Belanda telah diambilalih oleh pasukan merah putih Pagimana.

Setelah Raja Banggai berada di kota Luwuk, diadakan musyawarah yang diikuti oleh pemimpin pejuang dari Pagimana, Bunta dan Luwuk untuk menetapkan penyelenggaraan penetapan pemerintahan oleh komite 12 yang terdiri dari 12 orang yang dipimpin SA Amir.

Komite 12 terdiri dari kepala pemerintahan SA Amir, Wakil Ketua TS Bullah, Sekretaris Penghubung Yusuf Monoarfa, Bagian Keuatan S Amir, Keamanan dan Kesejahteraan DS Sutaryo, Urusan Umum, A Lagona dan AM Manggo, Penerangan S Katia, Bagian Pengajaran Pendidikan RM Makadada.

Hari Patriotik adalah gerakan spontanitas masyarakat Pagimana dan Bunta dengan pusat komando di Gorontalo untuk menaklukan perlawanan penjajah Belanda melalui perjuangan pasukan merah putih, sehingga bendera merah putih dapat berkibar di kota Luwuk pada tanggal 12 Februari 1942.

Perjuangan yang terorganisir dengan baik dan didorong semangat pantang menyerah, serta kesadaran kesetiakawanan membuahkan hasil gemilang. Rakyat Banggai hidup dalam kemerdekaan.

Dengan tinta emas perjuangan ini, tercatat dalam lembaran sejarah sekalipun para pejuang telah terbaring kakuh, tinggalah tulang-tulang berserakan, tapi perjuangan 12 Februari 1942 abadi di hati rakyat Pagimana. ***

Penulis : Zainal Lasita
Sumber : Banggai Raya