Migas Diantara Bobroknya Sistem & Mental Oknum Pejabat (I)

Oleh: Soeria Lasny

Menurut para pakar atau katakan saja sejumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang minyak dan gas bumi, untuk mendapatkan barang tambang yang satu ini sama halnya seperti berjudi. Kalahnya lebih banyak dibanding untungnya. Bayangkan saja bila dihitung-hitung mulai dari saat penelitian hingga tahap eksplorasi  sudah menelan biaya sampai ratusan milyar Rupiah, bahkan triliunan Rupiah. Besarnya biaya ini karena untuk menelusuri keberadaannya dalam perut bumi  memerlukan teknologi canggih.
Untuk mengetahui  lokasi yang mengandung migas harus memanfaatkan alat pengindraan jarak jauh atau Teknologi Remote Sensing dengan menggunakan Geographic Information System (GIS) serta peralatan lainnya melalui satelit untuk melihat isi perut bumi. Bila telah ditemukan lokasi adanya kandungan migas dan untuk mendapatkan kepastian, dilakukanlah eksplorasi dengan melakukan pengeboran sedalam hingga puluhan ribu meter ke dalam perut bumi, baik  di daratan maupun di dasar laut. Tak jarang terjadi, meskipun  lokasinya telah ditemukan, namun setelah dievaluasi ternyata  dari aspek keekonomian tak layak untuk diolah selanjutnya. Idealnya kandungan migas itu harus bisa diolah minimal 25 s/d 30 tahun dengan rata-rata produksi minimal  5.000 bopd (barrel oil per day). Tapi itu baru dalam bentuk minyak mentah yang harus melalui proses industri untuk dijadikan beberapa jenis BBM (Bahan Bakar Minyak) seperti premium, solar dan sebagainya.
Sialnya, setelah melakukan eksplorasi yang telah memakan biaya yang sangat besar, ternyata kandungan migas itu tak layak untuk diproduksi. Itulah resiko seperti dalam dunia “perjudian” yang dihadapi perusahan-perusahaan yang bergerak dalam bidang perminyakan dan gas bumi. Persoalannya juga tak hanya menyangkut pada kenyataan itu. Tak jarang pula harus menghadapi rumitnya birokrasi di daerah maupun sikap masyarakat setempat atau pihak-pihak tertentu yang ingin mengeruk keuntungan atas kehadiran investor dalam bidang perminyakan ini dalam suatu wilayah kerjanya di daerah.
Adanya kandungan migas di beberapa titik di daerah ini  dikelola pertama kali oleh perusahaan minyak Union Texas (South East Asia Inc.) pada tahun 1985 melalui kegiatan explorasi  meliputi  Struktur Tiaka yang terletak di Toili Area wilayah Kabupaten Morowali dan Struktur Senoro yang terletak di Senoro Area wilayah Kabupaten Banggai yang merupakan bagian dari Blok Tomori dijadikan Blok Senoro-Toili.
Namun temuan ini dianggap tidak ekonomis untuk dikembangkan sehingga ditinggalkan oleh Union Texsas.
Pada tanggal 4 Desember 1997 telah ditandatangani JOB PSC (Joint Operating Body) berdasarkan Production Sharing Contract (PSC) Blok Senoro-Toili dengan nama JOB Pertamina-Union Texas Tomori Inc. Wilayah kerja meliputi luas 475 km2  yang terdiri dari dua  daerah terpisah, yaitu Senoro Area (onshore) dan Toili Area (offshore).
Menyusul pada bulan Mei 1998 bagian kepemilikan Union Texsas beralih ke Atlantic Richfield Corporation dan seterusnya pada bulan Maret 2000 diambil alih oleh PT Medco Energi International Tbk sebagai induk dari PT Exspan Tomori Sulawesi yang kemudian berganti nama menjadi PT.Medco E & P Tomori Sulawesi. Perusahaan ini kemudian melanjutkan operasi perminyakan tersebut dan berhasil menemukan gas   pada lapisan batu gamping Formasi Minmahaki (Toili) yang tidak diperkirakan  oleh Union Texsas. Hasil Uji Kandungan Lapisan mengalirkan gas 7,3 mmscfd dan kondensat 297 bcpd.   Hasil evaluasi  untuk Formasi  Minahaki berpotensi memiliki cadangan gas sebesar 200 milyar kaki kubik dan 6 juta barrel kondensat.
Dalam kurun waktu tahun 1997-2005 telah dilakukan berbagai kegiatan operasi perminyakan di Blok Senoro-Toili. Di Senoro Area telah dilakukan pengeboran 3 sumur ekplorasi pada Struktur Lapangan Gas Senoro dan berhasil membuktikan cadangan gas sebesar 1,5 triliun kaki kubik (TCF = Triliun Cubic Feet). Karenanya lapangan gas ini dianggap layak untuk
dikembangkan ke arah emplementasi.
Luas lahan yang diperlukan untuk memanfaatkan migas ini, disesuaikan pula dengan besarnya cadangan gas alam yang ditemukan di beberapa titik wilayah Toili dan Batui  dibangun Kilang LNG (Liquefied Natural Gas). Cadangan gas itu antara lain terdapat di Lapangan Gas Matindok dan Sukamaju Kecamatan Batui. Di Kecamatan Toili Barat ada pula Lapangan Gas   Donggi dan Mentawa serta di Kecamatan Toili Lapangan Gas Minahaki serta di beberapa titik lainnya.
Selain PT Pertamina EP PPGM (Proyek Pengembangan Gas Matindok) dan JOB-PMTS (Job Operation Body – Pertamina Medco E & P Tomori Sulawesi) juga terdapat sejumlah perusahaan investor asing maupun nasional yang terlibat dalam pembangunan kilang LNG di wilayah ini. Jumlah atau nilai invitasi yang bakal tersalur di wilayah ini dimungkinkan mencapai  triliunan Rupiah karena selain pembangunan instalasi kilang LNG juga menyangkut pembangunan pelabuhan khusus untuk pengapalan LNG. Belum terhitung lagi pembangunan jaringan  pipa penyaluran  gas dari sumur produksi ke kiklang LNG dan seterusnya disalurkan ke pelabuhan. (Bersambung)***